BURUH
ANAK VERSUS HAK ANAK
Ferry
Felani
Program
Studi Ilmu Hukum Universitas Sriwijaya
Email
: Ferryfelani03@gmail.com
ABSTRAK
Permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia
akan bertambah dengan
adanya pengeksploitasian dan keberadaan pekerja anak. Pekerja anak
(buruh anak) adalah sebuah istilah untuk
mempekerjakan anak kecil. Istilah pekerja anak dapat
memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas
tenaga
mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi
perkembangan kepribadian mereka, keamanannya,
kesehatan, dan prospek masa depan. Kemiskinan dan
perlindungan hukum yang lemah dari anak-anak merupakan salah satu faktor
penyebabnya. Ini menunjukkan bahwa terjadinya pekerja anak dipengaruhi oleh
berbagai faktor sosial seperti kemiskinan dan ekonomi. Perlindungan pekerja
anak telah diatur dalam perumusan undang-undang dan Konvensi Internasional yang
telah diratifikasi oleh Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
mengatasi masalah pekerja anak, namun upaya pemerintah belum maksimal seperti
yang diharapkan.
Kata kunci: Pekerja
anak, Ketenagakerjaan, Penanggulangan pekerja anak, Konvensi
Internasional.
1.
Pendahuluan
Anak adalah suatu titipan
yang diberikan kepada orang tua sebagai harta yang tak ternilai harganya, anak
adalah generasi penerus bangsa yang harus dididik dan dipersiapkan guna
mebangaun karakter bangsa dan penerus bangsa. Setiap anak memiliki hak untuk
mendapat perlindungan. Secara yuridis, Indonesia telah mempunyai
seperangkat peraturan perundang-undangan untuk menjamin hak-hak anak dan
mengurangi dampak bekerja dari anak, yaitu antara lain UUD 1945, UU nomor 23
Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2.
Studi Kepustakaan dan Bahan
Hukum
Penelitian
hukum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap
pekerja anak di Indonesia dan untuk mengetahui apakah peraturan-peraturan
tersebut sudah memenuhi hak-hak anak di Indonesia. Penelitian ini merupakan
penelitian hukum normatif bersifat preskriptif untuk menelaah isu hukum dengan
pendekatan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Secara rinci studi
kepustakaan ini dilakukan sebagai data sekunder yang bersumber dari :
Bahan
Hukum Primer, meliputi :
1.
UUD 1945
·
Pasal 27, Ayat 2: Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
·
Pasal 28B, Ayat 2: Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
dikriminasi.
2.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
·
Pasal 82, Ayat 1: Pekerja/buruh
perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu
setengah) bulan sesudah melahirkan menurut
perhitungan dokter kandungan atau bidan.
·
Pasal 82, Ayat 2: Pekerja/buruh perempuan yang mengalami
keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau
sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
·
Pasal 83: Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu
harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus
dilakukan selama waktu kerja.
Penjelasan: Apa yang dimaksud dengan “memberi
kesempatan sepatutnya bagi buruh/pekerja perempuan untuk menyusui anaknya jika
hal itu harus dilakukan selama waktu kerja” adalah periode waktu yang disediakan
oleh perusahaan pada para buruh/pekerja wanita untuk menyusui anaknya, dengan
mempertimbangkan ketersediaan tempat/ruangan yang dapat digunakan untuk maksud
semacam itu menurut kondisi dan kemampuan finansial perusahaan, yang akan
diatur dalam peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama.
3. Konvensi Hak-hak Anak telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Keppres No. 36 tahun 1990
4. Deklarasi dan Agenda Aksi
Stockholm tahun 1996
5. Komitmen dan Rencana Aksi Regional Kawasan Asia
Timur dan Pasifik melawan Eksploitasi Seksual Komersial Anak tahun 2001
6. Komitmen Global Yokohama tahun 2001
7. Konvensi ILO No. 182 telah diratifikasi oleh
Undang-undang No. 1 Tahun 2000 tentang pengesahan Konvensi ILO No. 182 tentang
Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak
8. Against
Transnational Organized Crime
ditandatangani pada tanggal 12 Desember 2002.
9. Selain itu, berbagai instrumen hukum nasional yang menjadi dasar
penyusunan yakni Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang No. 39 tahun 1999
tentang HAM dan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
3. Analisis Kasus
Faktor penyebab dan
pendorong permasalahan pekerja anak di Indonesia merupakan interaksi dari
berbagai faktor di tingkat mikro sampai makro, dari faktor ekonomi sosial budaya
sampai pada masalah politik. Adapun faktor-faktor penyebab dan pendorong
permasalahan pekerja anak menurut hasil penelitian Jaringan Penanggulangan
Pekerja Anak (JARAK) adalah sebagai berikut;
pertama,
kemiskinan. Rendahnya ekonomi
keluarga merupakan faktor dominan yang menyebabkan anak-anak
terlibat mencari nafkah. Anak sering menjadi sumber penghasilan yang sangat
penting. Bahkan dalam banyak hal, pekerja anak dipandang sebagai mekanisme
survival untuk mengeliminasi tekanan kemiskinan yang tidak terpenuhi dari hasil
kerja orangtua. Terlibatnya anak dalam kegiatan ekonomi juga karena adanya
dorongan untuk membantu meringankan beban orangtua, bekerja untuk mendapatkan
penghormatan dari masyarakat, juga keinginan menikmati hasil usaha kerja,
merupakan faktor-faktor motivasi pekerja anak. Akan tetapi
sebab terbesar yang mendorong anak-anak bekerja adalah tuntutan orangtua dengan
tujuan mendapat tambahan pemasukan bagi keluarga. Anak-anak seringkali tidak
dapat menghindar untuk tidak ikut terlibat dalam pekerjaan. Faktor kemiskinan
dianggap sebagai pendorong utama anak untuk bekerja. Kemiskinan secara ekonomi
telah banyak menciptakan terjadinya pekerja anak. Orang tua “terpaksa”
memobilisasi anak-anaknya sebagai pekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Pada
titik inilah munculnya kerawanan, sebab anak-anak bisa berubah peran dari
“sekadar membantu” menjadi pencari nafkah utama. Pekerja anak tidak hanya
disebabkan oleh kemiskinan, tetapi juga menyebabkan “pemiskinan”, artinya
anak-anak yang bekerja dan tidak mengecap pendidikan akan tetap hidup di dalam
kondisi kemiskinan di kemudian hari. Akibat lebih jauh, generasi berikutnya
akan tetap miskin dan tidak berpendidikan (Tadjhoedin, 1992:
68).
Kedua,
urbanisasi. Daerah asal dari
pekerja anak yang mayoritas dari pedesaan juga merupakan salah satu faktor
timbulnya pekerja anak. Pedesaan yang dianggap tidak bisa memberikan jaminan
perbaikan ekonomi, maka banyak orang yang mengadu nasib ke kota-kota besar
dengan harapan dapat memperoleh penghasilan yang lebih tinggi, tanpa kecuali
para orangtua yang terbelenggu masalah ekonomi mengajak anaknya untuk
dipekerjakan, mulai dijadikannya pengemis sampai pada buruh pabrik.
Ketiga,
sosial budaya. Fenomena pekerja anak
ini tidak terlepas dari realitas yang ada pada masyarakat, yang secara kultural
memandang anak sebagai potensi keluarga yang wajib berbakti kepada orang tua.
Anak yang bekerja justru dianggap sebagai anak yang berbakti dan dapat
mengangkat harkat dan martabat orang tua. Dengan budaya yang seperti ini, maka posisi
anak yang sebenarnya mempunyai hak dan wajib dilindungi menjadi
terabaikan.
Keempat,
pendidikan. Alasan utama seorang
anak menjadi pekerja adalah karena keterbelakangan mereka untuk mengenyam
pendidikan. Satu hal yang paling bisa dilakukan oleh pemerintah mendatang
adalah melaksanakan program-program pendidikan berbiaya rendah dan
mengakomodasi kebutuhan keterampilan tertentu bagi anak. Sebab, selama ini
anak-anak "dipaksa" bekerja karena tuntutan ekonomi keluarga. Upah
anak adalah salah satu sumber pemasukan keluarga.Dengan pendidikan murah dan
pemberian keterampilan praktis, mereka diharapkan tidak lagi
menganggap sekolah tidak memberikan keuntungan apa-apa dan malah membuat
kondisi keluarga makin terpuruk. Diperlukan inovasi untuk membuat
pendidikan menjadi hal yang diterima di daerah yang menjadi kantong-kantong
pekerja anak. Pendidikan yang diterapkan tentu harus tidak sama dengan
pendidikan yang diadakan di sekolah-sekolah formal lain, yang orang tuanya
dianggap mampu mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Salah satu
inovasi yang bisa dilakukan adalah memasukkan keterampilan yang bisa
"dijual". Sehingga, anak punya keterampilan yang bisa mendatangkan
pemasukan. Pekerjaan sampingan pun bisa dilaksanakan di luar jam sekolah. Misalnya,
lewat koperasi sekolah atau unit usaha sekolah. Untuk mendukung itu, diperlukan
juga balai latihan kerja yang memberikan pelatihan dan dukungan dana bagi orang
tua mereka.
Kelima,
perubahan proses produksi. Perkembangan jaman
yang juga menuntut pada kecanggihan tekhnologi membuat beberapa perusahaan
dalam melakukann proses produksi menggunakan alat-alat tekhnologi canggih.
Sehingga banyak sekali pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh tenaga ahli
menjadi lebih cepat selesai hanya dengan hitungan waktu yang sangat singkat
dikerjakan oleh sebuah alat. Yang tersisa hanyalah pekerjaan kasar dan
serabutan yang ternyata banyak anak yang diambil untuk dipekerjakan, tentu saja
dengan upah murah dan jaminan perlindungan kerja yang minim, karena masih
dianggap sebagai anak yang tidak mengetahui apa-apa dan dituntut untuk
selalu menuruti aturan yang dibuat oleh perusahaan tempat bekerja.
Keenam, lemahnya pengawasan dan
terbatasnya institusi untuk rehabilitasi. Adanya peraturan untuk
melakukan perlindungan pekerja anak tidak diimbangi dengan pelaksaan dari
aturan tersebut. Sehingga sangat dimungkinkan banyak sekali masalah-masalah
yang timbul pada pekerja anak yang tidak bisa terselesaikan oleh aparat penegak
hukum.
Selain itu, di
Indonesia masih sangat kurang sekali lembaga-lembaga yang bisa melakukan
rehabilitasi terhadap anak dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara
rohani, jasmani maupun sosial khususnya anak yang mempunyai masalah, antara
lain anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, anak
yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah kelakuan, dan anak cacat. Usaha
ini dimaksudkan memberikan pemeliharaan, perlindungan, asuhan, perawatan dan
pemulihan kepada anak yang mempunyai masalah (Prinst,
2003: 84).
Hak-hak Anak dan
Perlindungan Hukum bagi Pekerja Anak dalam Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia
Sudah banyak peraturan
perundang-undangan yang dibuat di Indonesia untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap anak yang bekerja, terutama anak yang masih dibawah umur. Selain daripada
itu, juga diatur perlindungan terhadap bentuk pekerjaan terburuk dari pekerja
anak yang ditegaskan dalam Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002,
menkategorikan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk dari pekerja anak.
Begitu seriusnya
permasalahan pekerja anak diatas, peraturan yang digunakan untuk
melakukan perlindungan terhadap pekerja anak disamping ada yang
merupakan upaya ratifikasi dari konvensi Internasional, juga sebagian merupakan
peraturan yang dibuat atas dasar dan inisiatif pemerintah Indonesia. Namun
demikian peraturan perundangan yang ada tersebut secara substansiil sudah cukup
memadai, akan tetapi secara implementatif masih sangat jauh dari harapan.
Disini berarti negara
penanggung jawab perlidungan anak harus marnpu mengambil kebijakan baik secara
yuridis, sosial, serta melakukan kerjasama internasional dalam rangka
melindungi hak anak dari eksploitasi ekonomi. Hal ini tentunya termasuk harmonisasi
hukum nasional terhadap instrumen hukum
internasional yang mengatur perlindungan anak dari eksploitasi
ekonomi.
Sedangkan dalam
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan Undang-undang organik
tentang perlindungan hak asasi manusia dari UUD 1945 hasil amandemen IV.
Rumusan mengenai hak anak disebutkan dalam pasal 52 yang menyatakan bahwa
setiap anak berhak atas perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, dan
negara. Selain itu pasal ini juga menyebutkan bahwa hak anak adalah hak asasi
manusia sehigga demi kepentingan anak, hak tersebut harus diakui dan dilindungi
oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Pasal 58 menyebutkan
bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan
hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan
pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tuanya atau walinya, atau pihak
lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut, pasal ini
merupakan rumusan perlindungan hak anak yang harus dilindungi oleh hukum.
Beberapa pasal lain
dalam UU HAM yang memuat ketentuan perlindungan anak, terutama dalam bentuk
perlindungan terhadap anak sebagai pekerja adalah Pasal 64 dan Pasal 65. Pasal
64 berbunyi: "setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari
kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya,
sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial,
dan mental spritualnya".dan Pasal 65 berbunyi: "setiap anak berhak
untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual,
penculikan, perdagangan anak, serta dari segala bentuk penyalahgunaan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya".
Masalah pekerja anak
juga tidak bisa terlepas dengan upaya kesejahteraan anak
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, seperti dijelaskan dalam Pasal
I, bertujuan menciptakan suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat
menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak dengan wajar, baik secara rohani,
jasmani, maupun sosial. Karena itu anak harus diberikan perlindungan secara
khusus untuk melindungi dari hal-hal yang dapat membahayakan kesejahteraan
mereka.
Masalah
perlindungan anak sebagai pekerja memang tidak diatur dalam rumusan
undang-undang tentang kesejahteraan anak. Hanya saja jika kita melihat
permasalahan pekerja anak dalam kerangka perlindungan anak, maka akan ditemukan
bahwa pekerja anak sebagai suatu hal yang bertentangan dengan undang-undang
ini. Contohnya Pasal 2 ayat (4) yang merumuskan bahwa anak memiliki hak atas
perlindungan dari lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat
pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Rumusan ini berkaitan era! dengan
dengan konsep1 perlindungan anak sebagai pekerja. Di banyak
tempat, anak yang bekerja akan selalu berada dalam kondisi yang tidak
menguntungkan dan tereksploitasi. Begitu juga dengan kondisi , kerja yang dapat
membahayakan atau
menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya secara wajar.
Di Indonesia juga sudah
mempunyai Undang-Undang khusus untuk melindungi hak-hak anak, yaitu
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang
tentang perlindungan anak ini ditetapkan pada tahun 2002, dua belas tahun
setelah Indonesia menyatakan meratifikasi konvensi hak anak. Dari lamanya
rentang waktu ini terlihat kurang seriusnya pemerintah untuk benar-benar
melakukan perlindungan terhadap hak-hak anak. Pasal 2 menyebutkan bahwa
perlindungan anak bertujuan menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia
yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera, selanjutnya Pasal 20
mewajibkan kepada negara, pemerintah, masyarakat, kelurga dan orangtua untuk
ikut bertanggung jawab terhadap perlindungan anak.
Penanggulangan Permasalahan Pekerja Anak
Kebijakan perlindungan
anak terhadap penanggulangan pekerja anak dianggap belum efektif. Hal ini
disebabkan oleh berbagai kendala di lapangan. Antara lain, nilai-nilai sosial
seperti nilai historis, tradisi, kebiasaan, lingkungan sosial, budaya
masyarakat yang tersusun dari tingkah laku yang terpola, dan lemahnya sistem
pengawasan yang dilakukan oleh bidang pengawasan ketenagakerjaan dari Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Sebagaimana telah
diketahui, bahwa masalah yang terkait dengan pekerja anak adalah masalah lintas
sektoral, yang meliputi aspek ekonomi (anak bekerja merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi produktifitas sebuah keluarga),budaya (anak
bekerja merupakan ‘keharusan’ budaya masyarakat tertentu yang merupakan doktrin
Jawa ‘banyak anak banyak rejeki’), politik (dengan anak bekerja,
dapat diharapkan dapat melanggengkan dominasi
trah/kekuasaan), hukum (anak yang bekerja juga melingkupi penegasan
status dan kedudukan anak sebagai subyek yang memiliki hak dan kewajiban yang
harus dijamin oleh hukum), sosial (anak yang bekerja dapat mengangkat
harkat dan derajat sebuah keluarga di mata masyarakat/anak yang nganggur adalah
hina di mata masyarakat). Sehingga berpijak dari berbagai macam perspektif
masalah anak yang bekerja tersebut, menuntut pula regulasi dan pengaturan yang
komprehensif dalam bentuk peraturan perundangan yang seharusnya dibuat, baik
oleh eksekutif maupun legislatif, baik ditingkat pusat maupun ditingkatan
daerah, selaras dengan semangat dan esensi otonomi daerah.
Oleh karena itu,
penanggulangan pekerja anak lebih dipertegas lagi dalam Keputusan Menteri Dalam
Negeri Dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001, tanggal 8 Januari 2001, tentang
Penanggulangan Pekerja Anak, dijelaskan dalam pasal 1 ayat 4, bahwa
Penanggulangan Pekerja Anak atau disebut PPA adalah suatu
kegiatan yang dilaksanakan untuk menghapus, mengurangi dan melindungi pekerja
anak berusia 15 tahun ke bawah agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan
berat dan berbahaya. Sedangkan pelaksanaan kegiatan PPA dapat dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga Kemasyarakatan dan
lembaga lain yang peduli terhadap pekerja anak.
Dalam pasal 4 juga
dijelaskan bahwa Pemerintah Daerah melakukan langkah-langkah pengaturan
lebih lanjut dalam pelaksanaan kegiatan PPA. Hal ini menunjukkan peran
Pemerintah Daerah sangat besar terhadap keberhasilan untuk menanggulangi
pekerja anak, karena semua peran dari Pemerintah Daerah terkait dengan adanya
Otonomi Daerah.
Untuk
bisa mencapai pada keberhasilan tersebut, maka diatur juga dalam pasal 5
mengenai program-program dari PPA. Program yang sudah
dicanangkan oleh Pemerintah tersebut memang sangat penting untuk usaha
kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan
anak, terutama terpenuhinya kebutuhan
anak.
Secara konsepsional,
setidaknya ada tiga pendekatan dalam memandang masalah pekerja anak, yang sekiranya
dapat dipergunakan sebagai upaya untuk mengatasi dan sekaligus memberdayakan
pekerja anak, yakni penghapusan (abolition), perlindungan (protection),
dan penguatan atau pemberdayaan (empowerment) (Affandi,
2007: 17).
Pendekatan penghapusan muncul
berdasarkan asumsi bahwa seorang anak tidak boleh bekerja, karena dia harus
sekolah dan bermain. Hal ini menurut penulis, dilandasi oleh
semangat dan kultur masyarakat industri maju Negara-negara Barat. Sebab dalam
masyarakat yang sudah maturity industrinya, tidak ditemukan persoalan yang
signifikan bahwa mereka para keluarga mengharuskan anaknya bekerja karena
alasan ekonomi, sebagaimana negera-negara miskin di kawasan Asia, Amerika latin
dan Afrika. Sehingga dalam Negara maju tersebut, sering kita jumpai aturan yang
melarang segala jenis pekerja anak dan oleh karenanya praktek kerja anak harus
dihapuskan.
Dunia anak adalah
dunia sekolah dan dunia bermain, yang diarahkan kepada peningkatan dan
akselerasi perkembangan jiwa, fisik, mental, moral dan sosial. Setting dan
kurikulum sekolah anak di desain sedemikian rupa sehingga anak benar-benar “IN”
dalam dunia mereka sendiri, yang merupakan bagian integral dari proses yang
sistematis dalam melahirkan generasi serta dunia anak yang kondusif.
Pendekatan perlindungan, muncul
berdasarkan pandangan bahwa anak sebagai individu mempunyai hak untuk bekerja.
Oleh karenanya hak-haknya sebagai pekerja harus dijamin melalui peraturan
ketenagakerjaan sebagaimana yang berlaku bagi pekerja dewasa, sehingga
terhindar dari tindak penyalahgunaan dan eksploitasi. Dalam pandangan penulis,
pendekatan kedua ini tidak melarang anak bekerja karena bekerja adalah bagian
dari hak asasi anak yang paling dasar. Meskipun masih anak-anak, hukum harus
dapat menjamin terwujudnya hak anak yang paling asasi untuk mendapatkan
pekerjaan dan oleh karenanya juga mendapatkan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Masa depan anak tidak lagi ditentukan oleh kekuatan orang tua,
keluarga, masyarakat, apalagi Negara. Tetapi sebaliknya orang tua, keluarga,
masyarakat dan Negara, mempunyai kewajiban untuk menjamin terwujudnya hak anak
yang paling asasi yakni mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Dalam pendekatan ini tidak dibenarkan ada peraturan perundangan
yang mengeksploitasi sumber daya anak, hanya sekedar untuk kepentingan ekonomi,
sosial, politik, budaya, hukum dalam perspektif orang tua, keluarga, masysrakat
dan Negara (Affandi, 2007: 19).
Sedangkan
pendekatan Empowerment, juga berangkat dari pengakuan terhadap hak-hak anak
dan mendukung upaya penguatan pekerja anak agar mereka memahami dan mampu
memperjuangkan hak-haknya. Dalam pandangan penulis pendekatan perlindungan dan
pendekatan pemberdayaan inilah yang seharusnya menjadi dasar pijakan bagi
Negara-negara di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika, khususnya di
Indonesia, lebih khusus lagi di daerah selaras dengan semangat dan esensi
otonomi daerah.
Selain memperhatikan
ketiga pendekatan tersebut diatas, upaya memberikan perlindungan dan pencegahan
terhadap pekerja anak dapat dilakukan dengan cara;
pertama, mengubah
persepsi masyarakat terhadap pekerja anak, bahwa anak yang bekerja dan
terganggu tumbuh kembangnya dan tersita hak-haknya akan pendidikan tidak dapat
dibenarkan. Kedua, melakukan advokasi secara bertahap untuk
mengeliminasi pekerja anak, dengan perhatian pertama diberikan kepada jenis
pekerjaan yang sangat membahayakan, dalam hal ini perlu ada kampanye
besar-besaran untuk menghapuskan pekerja anak.
Ketiga, mengundangkan
dan melaksanakan peraturan Perundang-undangan yang selaras dengan konvensi
internasional, khususnya Konvensi Hak Anak dan Konvensi ILO lain yang
menyangkut anak, keempat, mengupayakan perlindungan hukum dan menyediakan
pelayanan yang memadai bagi anak-anak yang bekerja di sektor informal, seperti
di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Kelima, memastikan agar
anak-anak yang bekerja memperoleh pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan
keterampilan melalui bentu-bentuk pendidikan alternatif yang sesuai dengan
kebutuhan mereka (Huraerah, 2006: 76).
Masalah perlindungan
hukum bagi pekerja anak bukan sesuatu yang dapat diatasi seperti membalikkan
telapak tangan. Prosesnya akan memakan waktu yang lama serta membutuhkan
kerjasama yang serius antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Kesimpulan
Terjadinya
pekerja anak
dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial seperti kemiskinan,
urbanisasi, sosial budaya, pendidikan, perubahan proses produksi serta lemahnya
pengawasan dan minimnya lembaga untuk rehabilitasi. Namun pada kenyataannya
keterlibatan anak dalam pekerjaan mayoritas didorong oleh faktor kemiskinan
atau ekonomi.
Perlindungan bagi anak
sebagai pekerja pada dasarnya telah diatur dalam beberapa rumusan Undang-undang
dan Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Sekarang ini
Indonesia telah memiliki kebijakan tentang perlindungan pekerja anak dan
hak-haknya.
Berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengatasi permasalahan pekerja anak, namun
pada umumnya upaya pemerintah belum berjalan secara
optimal. Pelaksanaan peraturan perundang-undangan belum sesuai antara harapan
dan kenyataan.
Saran
1. Pemerintah
harus melakukan perbaikan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat, sehingga
diharapkan angka kemiskinan berkurang yang kemudian diikuti dengan peningkatan
kualitas pendidikan di masyarakat yang diharapkan bisamengurangi pekerja
anak.
2. Diharapkan Pemerintah lebih mengefektifkan
aturan-aturan yang telah ada, termasuk pemberdayaan aparatur Negara dan
lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang konsisten terhadap perlindungan
hak-hak anak untuk bisalebih mengawasi dan mendampingi anak yang
dipekerjakan agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh yang
mempekerjakannya.
3. Dalam kaitannya dengan
upaya penghapusan anak sebagai pekerja, Pemerintah haruslah mempunyai target
untuk menghapus pekerja anak secara tuntas. Untuk itu diperlukan suatu
kebijakan yang bersifat nasional dengan upaya penghapusan kemiskinan yang telah
terstruktur.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Huraerah, 2006, Kekerasan Terhadap
Anak, Nuansa, Bandung.
Prinst, Darwan. 2003, Hukum
Anak Indonesia, Anggota IKAPI, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Wiryani, Fifik. 2003, Perlindungan
Pekerja Anak, Pusat Studi Kajian Wanita, UMM Press, Malang
Haryadi, Dedi, Tjandraningsih dan Indrasari,
1995, Buruh Anak dan Dinamika Industri Kecil, Alkatiga,
Bandung
Affandi, Idrus. 2007, Pendidikan
Anak Berkonflik Hukum (model Konfergensi Antara Fungsionalis Dan Religious), Alfabeta,
Bandung
Purnianti, Sri S.M, dan Martini,
2002, Analisa Suatu Sistem Peradilan Anak, FISIP UI, Jakarta.
Kurniaty, Rika. 2007, Perlindungan
Hukum Terhadap Pekerja Anak Berdasar Hukum Positif Indonesia, Risalah
Hukum, Fakultas Hukum, vol.13, No.2, edisi Desember 2006-Mei 2007,
ISSN 021-969X,Unmul
Tadjhoedin, Noer Effendi, 1992, Buruh
Anak Fenomena Dikota dan Pedesaan-Dalam Buruh Anak Disektor
Informal-Tradisional Dan Formal,Sumberdaya Manusia, Yayasan Tenaga Kerja
Indonesia, Jakarta
Peraturan Perundang-undangan
UU No 1 tahun 2000, tentang konvensi ILO nomor
182 mengenai pelanggaran dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak
UU No. 4 Tahun 1979, Tentang Kesejahteraan
Anak
UU No. 39 Tahun 1999, Tentang HAM