Rabu, 29 April 2015

BURUH ANAK VERSUS HAK ANAK



BURUH ANAK VERSUS HAK ANAK
Ferry Felani
Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sriwijaya

ABSTRAK
Permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia akan bertambah dengan adanya pengeksploitasian dan keberadaan pekerja anak. Pekerja anak (buruh anak) adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil. Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan.  Kemiskinan dan perlindungan hukum yang lemah dari anak-anak merupakan salah satu faktor penyebabnya. Ini menunjukkan bahwa terjadinya pekerja anak dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial seperti kemiskinan dan ekonomi. Perlindungan pekerja anak telah diatur dalam perumusan undang-undang dan Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah pekerja anak, namun upaya pemerintah belum maksimal seperti yang diharapkan.
Kata kunci: Pekerja anak, Ketenagakerjaan, Penanggulangan pekerja anak, Konvensi Internasional.
1.         Pendahuluan
        Anak adalah suatu titipan yang diberikan kepada orang tua sebagai harta yang tak ternilai harganya, anak adalah generasi penerus bangsa yang harus dididik dan dipersiapkan guna mebangaun karakter bangsa dan penerus bangsa. Setiap anak memiliki hak untuk mendapat perlindungan. Secara yuridis, Indonesia telah mempunyai seperangkat peraturan perundang-undangan untuk menjamin hak-hak anak dan mengurangi dampak bekerja dari anak, yaitu antara lain UUD 1945, UU nomor 23 Tahun 2002  tentang Perlindungan Anak dan UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2.         Studi Kepustakaan dan Bahan Hukum
       
        Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja anak di Indonesia dan untuk mengetahui apakah peraturan-peraturan tersebut sudah memenuhi hak-hak anak di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif untuk menelaah isu hukum dengan pendekatan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Secara rinci studi kepustakaan ini dilakukan sebagai data sekunder yang bersumber dari :

        Bahan Hukum Primer, meliputi :

1.      UUD 1945
·         Pasal 27, Ayat 2: Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
·         Pasal 28B, Ayat 2: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi.
2.      Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
·         Pasal 82, Ayat 1:  Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan  sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan  menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
·         Pasal 82, Ayat 2: Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
·         Pasal 83: Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Penjelasan: Apa yang dimaksud dengan “memberi kesempatan sepatutnya bagi buruh/pekerja perempuan untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja” adalah periode waktu yang disediakan oleh perusahaan pada para buruh/pekerja wanita untuk menyusui anaknya, dengan mempertimbangkan ketersediaan tempat/ruangan yang dapat digunakan untuk maksud semacam itu menurut kondisi dan kemampuan finansial perusahaan, yang akan diatur dalam peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama.
3.      Konvensi Hak-hak Anak telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keppres No. 36 tahun 1990
4.      Deklarasi dan Agenda Aksi Stockholm tahun 1996
5.      Komitmen dan Rencana Aksi Regional Kawasan Asia Timur dan Pasifik melawan Eksploitasi Seksual Komersial Anak tahun 2001
6.      Komitmen Global Yokohama tahun 2001
7.      Konvensi ILO No. 182 telah diratifikasi oleh Undang-undang No. 1 Tahun 2000 tentang pengesahan Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
8.      Against Transnational Organized Crime ditandatangani pada tanggal 12 Desember 2002.
9.      Selain itu, berbagai  instrumen hukum nasional yang menjadi dasar penyusunan yakni Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.





3.      Analisis Kasus
Faktor penyebab dan pendorong permasalahan pekerja anak di Indonesia merupakan interaksi dari berbagai faktor di tingkat mikro sampai makro, dari faktor ekonomi sosial budaya sampai pada masalah politik. Adapun faktor-faktor penyebab dan pendorong permasalahan pekerja anak menurut hasil penelitian Jaringan Penanggulangan Pekerja Anak (JARAK) adalah  sebagai berikut;
pertama, kemiskinanRendahnya ekonomi keluarga merupakan faktor dominan yang menyebabkan anak-anak terlibat mencari nafkah. Anak sering menjadi sumber penghasilan yang sangat penting. Bahkan dalam banyak hal, pekerja anak dipandang sebagai mekanisme survival untuk mengeliminasi tekanan kemiskinan yang tidak terpenuhi dari hasil kerja orangtua. Terlibatnya anak dalam kegiatan ekonomi juga karena adanya dorongan untuk membantu meringankan beban orangtua, bekerja untuk mendapatkan penghormatan dari masyarakat, juga keinginan menikmati hasil usaha kerja, merupakan faktor-faktor motivasi pekerja anak. Akan tetapi sebab terbesar yang mendorong anak-anak bekerja adalah tuntutan orangtua dengan tujuan mendapat tambahan pemasukan bagi keluarga. Anak-anak seringkali tidak dapat menghindar untuk tidak ikut terlibat dalam pekerjaan. Faktor kemiskinan dianggap sebagai pendorong utama anak untuk bekerja. Kemiskinan secara ekonomi telah banyak menciptakan terjadinya pekerja anak. Orang tua “terpaksa” memobilisasi anak-anaknya sebagai pekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Pada titik inilah munculnya kerawanan, sebab anak-anak bisa berubah peran dari “sekadar membantu” menjadi pencari nafkah utama. Pekerja anak tidak hanya disebabkan oleh kemiskinan, tetapi juga menyebabkan “pemiskinan”, artinya anak-anak yang bekerja dan tidak mengecap pendidikan akan tetap hidup di dalam kondisi kemiskinan di kemudian hari. Akibat lebih jauh, generasi berikutnya akan tetap miskin dan tidak berpendidikan (Tadjhoedin, 1992: 68).
Kedua, urbanisasiDaerah asal dari pekerja anak yang mayoritas dari pedesaan juga merupakan salah satu faktor timbulnya pekerja anak. Pedesaan yang dianggap tidak bisa memberikan jaminan perbaikan ekonomi, maka banyak orang yang mengadu nasib ke kota-kota besar dengan harapan dapat memperoleh penghasilan yang lebih tinggi, tanpa kecuali para orangtua yang terbelenggu masalah ekonomi mengajak anaknya untuk dipekerjakan, mulai dijadikannya pengemis sampai pada buruh pabrik. 
Ketiga, sosial budayaFenomena pekerja anak ini tidak terlepas dari realitas yang ada pada masyarakat, yang secara kultural memandang anak sebagai potensi keluarga yang wajib berbakti kepada orang tua. Anak yang bekerja justru dianggap sebagai anak yang berbakti dan dapat mengangkat harkat dan martabat orang tua. Dengan budaya yang seperti ini, maka posisi anak yang sebenarnya mempunyai hak dan wajib dilindungi menjadi terabaikan. 
Keempat, pendidikanAlasan utama seorang anak menjadi pekerja adalah karena keterbelakangan mereka untuk mengenyam pendidikan. Satu hal yang paling bisa dilakukan oleh pemerintah mendatang adalah melaksanakan program-program pendidikan berbiaya rendah dan mengakomodasi kebutuhan keterampilan tertentu bagi anak. Sebab, selama ini anak-anak "dipaksa" bekerja karena tuntutan ekonomi keluarga. Upah anak adalah salah satu sumber pemasukan keluarga.Dengan pendidikan murah dan pemberian keterampilan praktis, mereka diharapkan tidak  lagi menganggap sekolah tidak memberikan keuntungan apa-apa dan malah membuat kondisi keluarga makin terpuruk. Diperlukan inovasi untuk membuat pendidikan menjadi hal yang diterima di daerah yang menjadi kantong-kantong pekerja anak. Pendidikan yang diterapkan tentu harus tidak sama dengan pendidikan yang diadakan di sekolah-sekolah formal lain, yang orang tuanya dianggap mampu mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Salah satu inovasi yang bisa dilakukan adalah memasukkan keterampilan yang bisa "dijual". Sehingga, anak punya keterampilan yang bisa mendatangkan pemasukan. Pekerjaan sampingan pun bisa dilaksanakan di luar jam sekolah. Misalnya, lewat koperasi sekolah atau unit usaha sekolah. Untuk mendukung itu, diperlukan juga balai latihan kerja yang memberikan pelatihan dan dukungan dana bagi orang tua mereka.
Kelima, perubahan proses produksiPerkembangan jaman yang juga menuntut pada kecanggihan tekhnologi membuat beberapa perusahaan dalam melakukann proses produksi menggunakan alat-alat tekhnologi canggih. Sehingga banyak sekali pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh tenaga ahli menjadi lebih cepat selesai hanya dengan hitungan waktu yang sangat singkat dikerjakan oleh sebuah alat. Yang tersisa hanyalah pekerjaan kasar dan serabutan yang ternyata banyak anak yang diambil untuk dipekerjakan, tentu saja dengan upah murah dan jaminan perlindungan kerja yang minim, karena masih dianggap sebagai anak yang tidak mengetahui apa-apa dan dituntut untuk selalu menuruti aturan yang dibuat oleh perusahaan tempat bekerja.
Keenam, lemahnya pengawasan dan terbatasnya institusi untuk rehabilitasiAdanya peraturan untuk melakukan perlindungan pekerja anak tidak diimbangi dengan pelaksaan dari aturan tersebut. Sehingga sangat dimungkinkan banyak sekali masalah-masalah yang timbul pada pekerja anak yang tidak bisa terselesaikan oleh aparat penegak hukum.

Selain itu, di Indonesia masih sangat kurang sekali lembaga-lembaga yang bisa melakukan rehabilitasi terhadap anak dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial khususnya anak yang mempunyai masalah, antara lain anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, anak yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah kelakuan, dan anak cacat. Usaha ini dimaksudkan memberikan pemeliharaan, perlindungan, asuhan, perawatan dan pemulihan kepada anak yang mempunyai masalah (Prinst, 2003: 84).  

Hak-hak Anak dan Perlindungan Hukum bagi Pekerja Anak dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Sudah banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat di Indonesia untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang bekerja, terutama anak yang masih dibawah umur. Selain daripada itu, juga diatur perlindungan terhadap bentuk pekerjaan terburuk dari pekerja anak yang ditegaskan dalam Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002, menkategorikan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk dari pekerja anak.

Begitu seriusnya permasalahan pekerja anak diatas, peraturan yang digunakan untuk melakukan  perlindungan terhadap pekerja anak disamping ada yang merupakan upaya ratifikasi dari konvensi Internasional, juga sebagian merupakan peraturan yang dibuat atas dasar dan inisiatif pemerintah Indonesia. Namun demikian peraturan perundangan yang ada tersebut secara substansiil sudah cukup memadai, akan tetapi secara implementatif masih sangat jauh dari harapan.
Disini berarti negara penanggung jawab perlidungan anak harus marnpu mengambil kebijakan baik secara yuridis, sosial, serta melakukan kerjasama internasional dalam rangka melindungi hak anak dari eksploitasi ekonomi. Hal ini tentunya termasuk harmonisasi hukum  nasional terhadap instrumen hukum internasional  yang mengatur perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi.

Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan Undang-undang organik tentang perlindungan hak asasi manusia dari UUD 1945 hasil amandemen IV. Rumusan mengenai hak anak disebutkan dalam pasal 52 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Selain itu pasal ini juga menyebutkan bahwa hak anak adalah hak asasi manusia sehigga demi kepentingan anak, hak tersebut harus diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

Pasal 58 menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tuanya atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut, pasal ini merupakan rumusan perlindungan hak anak yang harus dilindungi oleh hukum.

Beberapa pasal lain dalam UU HAM yang memuat ketentuan perlindungan anak, terutama dalam bentuk perlindungan terhadap anak sebagai pekerja adalah Pasal 64 dan Pasal 65. Pasal 64 berbunyi: "setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spritualnya".dan Pasal 65 berbunyi: "setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari segala bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya".

Masalah pekerja anak juga tidak bisa terlepas dengan upaya kesejahteraan anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, seperti dijelaskan dalam Pasal I, bertujuan menciptakan suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Karena itu anak harus diberikan perlindungan secara khusus untuk melindungi dari hal-hal yang dapat membahayakan kesejahteraan mereka.

 Masalah perlindungan anak sebagai pekerja memang tidak diatur dalam rumusan undang-undang tentang kesejahteraan anak. Hanya saja jika kita melihat permasalahan pekerja anak dalam kerangka perlindungan anak, maka akan ditemukan bahwa pekerja anak sebagai suatu hal yang bertentangan dengan undang-undang ini. Contohnya Pasal 2 ayat (4) yang merumuskan bahwa anak memiliki hak atas perlindungan dari lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Rumusan ini berkaitan era! dengan dengan konsepperlindungan anak sebagai pekerja. Di banyak tempat, anak yang bekerja akan selalu berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan dan tereksploitasi. Begitu juga dengan kondisi , kerja yang dapat membahayakan atau menghambat       pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.
Di Indonesia juga sudah mempunyai Undang-Undang khusus untuk melindungi hak-hak anak, yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang tentang perlindungan anak ini ditetapkan pada tahun 2002, dua belas tahun setelah Indonesia menyatakan meratifikasi konvensi hak anak. Dari lamanya rentang waktu ini terlihat kurang seriusnya pemerintah untuk benar-benar melakukan perlindungan terhadap hak-hak anak. Pasal 2 menyebutkan bahwa perlindungan anak bertujuan  menjamin terpenuhinya hak-hak  anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera, selanjutnya Pasal 20 mewajibkan kepada negara, pemerintah, masyarakat, kelurga dan orangtua untuk ikut bertanggung jawab terhadap perlindungan anak.

Penanggulangan Permasalahan Pekerja Anak

Kebijakan perlindungan anak terhadap penanggulangan pekerja anak dianggap belum efektif. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala di lapangan. Antara lain, nilai-nilai sosial seperti nilai historis, tradisi, kebiasaan, lingkungan sosial, budaya masyarakat yang tersusun dari tingkah laku yang terpola, dan lemahnya sistem pengawasan yang dilakukan oleh bidang pengawasan ketenagakerjaan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa masalah yang terkait dengan pekerja anak adalah masalah lintas sektoral, yang meliputi aspek ekonomi  (anak bekerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktifitas sebuah keluarga),budaya (anak bekerja merupakan ‘keharusan’ budaya masyarakat tertentu yang merupakan doktrin Jawa ‘banyak anak banyak rejeki’), politik (dengan anak bekerja, dapat diharapkan dapat melanggengkan dominasi trah/kekuasaan), hukum (anak yang bekerja juga melingkupi penegasan status dan kedudukan anak sebagai subyek yang memiliki hak dan kewajiban yang harus dijamin oleh hukum), sosial (anak yang bekerja dapat mengangkat harkat dan derajat sebuah keluarga di mata masyarakat/anak yang nganggur adalah hina di mata masyarakat). Sehingga berpijak dari berbagai macam perspektif masalah anak yang bekerja tersebut, menuntut pula regulasi dan pengaturan yang komprehensif dalam bentuk peraturan perundangan yang seharusnya dibuat, baik oleh eksekutif maupun legislatif, baik ditingkat pusat maupun ditingkatan daerah, selaras dengan semangat dan esensi otonomi daerah.
Oleh karena itu, penanggulangan pekerja anak lebih dipertegas lagi dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001, tanggal 8 Januari 2001, tentang Penanggulangan Pekerja Anak, dijelaskan dalam pasal 1 ayat 4, bahwa Penanggulangan Pekerja Anak atau disebut  PPA  adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk menghapus, mengurangi dan melindungi pekerja anak berusia 15 tahun ke bawah agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya. Sedangkan pelaksanaan kegiatan PPA dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga Kemasyarakatan dan lembaga lain yang peduli terhadap pekerja anak.
Dalam pasal 4 juga dijelaskan bahwa Pemerintah Daerah melakukan langkah-langkah pengaturan lebih lanjut dalam pelaksanaan kegiatan PPA. Hal ini menunjukkan peran Pemerintah Daerah sangat besar terhadap keberhasilan untuk menanggulangi pekerja anak, karena semua peran dari Pemerintah Daerah terkait dengan adanya Otonomi Daerah.
            Untuk bisa mencapai pada keberhasilan tersebut, maka diatur juga dalam pasal 5 mengenai program-program dari PPAProgram yang sudah dicanangkan oleh Pemerintah tersebut memang sangat penting untuk usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak, terutama terpenuhinya kebutuhan anak.                                               
Secara konsepsional, setidaknya ada tiga pendekatan dalam memandang masalah pekerja anak, yang sekiranya dapat dipergunakan sebagai upaya untuk mengatasi dan sekaligus memberdayakan pekerja anak, yakni penghapusan (abolition), perlindungan (protection), dan penguatan atau pemberdayaan (empowerment) (Affandi, 2007: 17).
Pendekatan penghapusan muncul berdasarkan asumsi bahwa seorang anak tidak boleh bekerja, karena dia harus sekolah dan  bermain. Hal ini menurut penulis, dilandasi oleh semangat dan kultur masyarakat industri maju Negara-negara Barat. Sebab dalam masyarakat yang sudah maturity industrinya, tidak ditemukan persoalan yang signifikan bahwa mereka para keluarga mengharuskan anaknya bekerja karena alasan ekonomi, sebagaimana negera-negara miskin di kawasan Asia, Amerika latin dan Afrika. Sehingga dalam Negara maju tersebut, sering kita jumpai aturan yang melarang segala jenis pekerja anak dan oleh karenanya praktek kerja anak harus dihapuskan.
Dunia anak adalah dunia sekolah dan dunia bermain, yang diarahkan kepada peningkatan dan akselerasi perkembangan jiwa, fisik, mental, moral dan sosial. Setting dan kurikulum sekolah anak di desain sedemikian rupa sehingga anak benar-benar “IN” dalam dunia mereka sendiri, yang merupakan bagian integral dari proses yang sistematis dalam melahirkan generasi serta dunia anak yang kondusif.
Pendekatan perlindungan, muncul berdasarkan pandangan bahwa anak sebagai individu mempunyai hak untuk bekerja. Oleh karenanya hak-haknya sebagai pekerja harus dijamin melalui peraturan ketenagakerjaan sebagaimana yang berlaku bagi pekerja dewasa, sehingga terhindar dari tindak penyalahgunaan dan eksploitasi. Dalam pandangan penulis, pendekatan kedua ini tidak melarang anak bekerja karena bekerja adalah bagian dari hak asasi anak yang paling dasar. Meskipun masih anak-anak, hukum harus dapat menjamin terwujudnya hak anak yang paling asasi untuk mendapatkan pekerjaan dan oleh karenanya juga mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Masa depan anak tidak lagi ditentukan oleh kekuatan orang tua, keluarga, masyarakat, apalagi Negara. Tetapi sebaliknya orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara, mempunyai kewajiban untuk menjamin terwujudnya hak anak yang paling asasi yakni mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam pendekatan ini tidak dibenarkan ada peraturan perundangan yang mengeksploitasi sumber daya anak, hanya sekedar untuk kepentingan ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum dalam perspektif orang tua, keluarga, masysrakat dan Negara (Affandi, 2007: 19).
Sedangkan pendekatan Empowerment, juga berangkat dari pengakuan terhadap hak-hak anak dan mendukung upaya penguatan pekerja anak agar mereka memahami dan mampu memperjuangkan hak-haknya. Dalam pandangan penulis pendekatan perlindungan dan pendekatan pemberdayaan inilah yang seharusnya menjadi dasar pijakan bagi Negara-negara di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika, khususnya di Indonesia, lebih khusus lagi di daerah selaras dengan semangat dan esensi otonomi daerah.
Selain memperhatikan ketiga pendekatan tersebut diatas, upaya memberikan perlindungan dan pencegahan terhadap pekerja anak dapat dilakukan dengan cara; pertama, mengubah persepsi masyarakat terhadap pekerja anak, bahwa anak yang bekerja dan terganggu tumbuh kembangnya dan tersita hak-haknya akan pendidikan tidak dapat dibenarkan. Kedua, melakukan advokasi secara bertahap untuk mengeliminasi pekerja anak, dengan perhatian pertama diberikan kepada jenis pekerjaan yang sangat membahayakan, dalam hal ini perlu ada kampanye besar-besaran untuk menghapuskan pekerja anak. Ketiga, mengundangkan dan melaksanakan peraturan Perundang-undangan yang selaras dengan konvensi internasional, khususnya Konvensi Hak Anak dan Konvensi ILO lain yang menyangkut anak, keempat, mengupayakan perlindungan hukum dan menyediakan pelayanan yang memadai bagi anak-anak yang bekerja di sektor informal, seperti di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Kelima, memastikan agar anak-anak yang bekerja memperoleh pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan keterampilan melalui bentu-bentuk pendidikan alternatif yang sesuai dengan kebutuhan mereka (Huraerah, 2006: 76).
Masalah perlindungan hukum bagi pekerja anak bukan sesuatu yang dapat diatasi seperti membalikkan telapak tangan. Prosesnya akan memakan waktu yang lama serta membutuhkan kerjasama yang serius antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.


Kesimpulan
Terjadinya pekerja anak dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial seperti kemiskinan, urbanisasi, sosial budaya, pendidikan, perubahan proses produksi serta lemahnya pengawasan dan minimnya lembaga untuk rehabilitasi. Namun pada kenyataannya keterlibatan anak dalam pekerjaan mayoritas didorong oleh faktor kemiskinan atau ekonomi.
Perlindungan bagi anak sebagai pekerja pada dasarnya telah diatur dalam beberapa rumusan Undang-undang dan Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Sekarang ini Indonesia telah memiliki kebijakan tentang perlindungan pekerja anak dan hak-haknya.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan pekerja anak, namun pada umumnya upaya pemerintah belum berjalan secara optimal. Pelaksanaan peraturan perundang-undangan belum sesuai antara harapan dan kenyataan.

Saran
1.     Pemerintah harus melakukan perbaikan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat, sehingga diharapkan angka kemiskinan berkurang yang kemudian diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan di masyarakat yang diharapkan bisamengurangi pekerja anak. 
2.     Diharapkan Pemerintah lebih mengefektifkan aturan-aturan yang telah ada, termasuk pemberdayaan aparatur Negara dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang konsisten terhadap perlindungan hak-hak anak untuk bisalebih mengawasi dan mendampingi anak yang dipekerjakan agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh yang mempekerjakannya.
3.    Dalam kaitannya dengan upaya penghapusan anak sebagai pekerja, Pemerintah haruslah mempunyai target untuk menghapus pekerja anak secara tuntas. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang bersifat nasional dengan upaya penghapusan kemiskinan yang telah terstruktur.


DAFTAR PUSTAKA
Abu Huraerah, 2006, Kekerasan Terhadap Anak, Nuansa, Bandung.

Prinst, Darwan. 2003, Hukum Anak Indonesia, Anggota IKAPI, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 

Wiryani, Fifik. 2003, Perlindungan Pekerja Anak, Pusat Studi Kajian Wanita, UMM Press, Malang

Haryadi, Dedi, Tjandraningsih dan Indrasari, 1995, Buruh Anak dan Dinamika Industri Kecil, Alkatiga, Bandung

Affandi, Idrus. 2007, Pendidikan Anak Berkonflik Hukum (model Konfergensi Antara Fungsionalis Dan Religious), Alfabeta, Bandung

Purnianti, Sri S.M, dan Martini, 2002,  Analisa Suatu Sistem Peradilan Anak, FISIP UI, Jakarta.

Kurniaty, Rika. 2007, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Berdasar Hukum Positif Indonesia, Risalah Hukum, Fakultas Hukum,  vol.13, No.2, edisi Desember 2006-Mei 2007, ISSN 021-969X,Unmul

Tadjhoedin, Noer Effendi, 1992, Buruh Anak Fenomena Dikota dan Pedesaan-Dalam Buruh Anak Disektor Informal-Tradisional Dan Formal,Sumberdaya Manusia, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta

Peraturan Perundang-undangan

UU No 1 tahun 2000, tentang konvensi ILO nomor 182 mengenai pelanggaran dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak

UU No. 4 Tahun 1979, Tentang Kesejahteraan Anak

UU No. 39 Tahun 1999, Tentang HAM